Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design:
Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Rabu, 05 November 2008

PENDIDIKAN NILAI DALAM PEMBELAJARAN IPS

Dewasa ini dunia pendidikan semakin terpuruk karena dianggap gagal mendidik generasi muda Indonesia. Dan porsi kegagalan terbesar dari kegagalan itu adalah model pengajaran yang diterapkan selama ini. Tidak bisa dipungkiri bahwa selama beberapa dekade ini pendidikan hanya menyuguhkan hafalan dan siswa dianggap sebagai mesin foto kopi yang harus menghafal berlembar-lembar. Siswa tidak diajak untuk berpikir dan bagaimana berpikir untuk mengembangkan hidup. Pendidikan kurang menyentuh pada pembentukan watak dan moralitas seseorang sehingga yang muncul adalah dehumanisasi dan dekadensi moral. Lepas dari faktor penyebab kegagalan, guru memegang peranan penting dalam soal sukses tidaknya proses pembelajaran.

Jika menilik kebelakang sebentar dengan proses pembelajaran selama ini adalah dunia pendidikan ( guru, red. ) masih menggunakan paradigma lama sehingga siswa tidak diberi kesempatan yang bebas untuk mengkreasikan secara aktif ide atau gagasannya. Dengan kata lain siswa merupakan botol kosong yang harus diisi sebanyak-banyaknya, hal ini berimplikasi bahwa siswa harus rela menyerahkan hak-haknya sewaktu dilakukan pengisian. Sistem komando dan maha tahu menjadi mantra yang sangat ampuh untuk selalu melegitimasi tindakannya. Pada paradigma lama tidak bisa dipungkiri bahwa guru sering melakukan hal-hal berikut misalnya ; memindahkan pengetahuan dari guru ke siswa, mengkotak-kotakkan siswa berdasar tingkat keberhasilan dalam menghafal dan memacu siswa untuk berkompetisi bagaikan ayam adun. ( lihat; Anita Lie : Coorporative Learning, Grasindo, Jakarta, 2003, hal. 3 ). Seiring tuntutan jaman dan semakin meningkatnya kebutuhan pendidikan maka dunia pendidikan harus berbenah diri sehingga tercipta kualitas pendidikan yang lebih baik. Untuk itu, guru harus berani mengubah paradigma lama kedalam paradigma yang lebih baru. Guru jangan hanya mengacung-acungkan keris yang bengkok, sudah karaten dan tumpul dalam proses belajarnya. Sekarang pusaka tidak hanya keris tetapi masih banyak lagi yang mempunyai fungsi sama dan bahkan lebih efisien penggunaannya.

Pendidik perlu membuat konstruksi pembelajaran yang termuat dalam silabus atau RPP ( rencana pelaksanaan pembelajaran ) yang terstruktur secara rapi sehingga dalam tataran praksis muda dipahami. Silabus dan RPP setelah ditandatangani kepala sekolah jangan hanya dimuseumkan dan dipuja. Maka dari itu konstruksi pembelajaran harus memuat hal-hal berikut : pertama; pengetahuan yang dibuat ditemukan, dibentuk dan dikembangkan oleh siswa. Kedua siswa diberi kebebasan untuk membangun pengetahuan secara aktif, ketiga ; guru perlu mengembangkan kompetensinya dan kemampuan siswa lewat kegiatan-kegiatan penemuan. Keempat ; terbangunnya interaksi dan relasi yang baik antara peserta didik dan pendidik. ( ibidem., hal. 5 ).
Lalu bagaimana dengan pembelajaran ilmu-ilmu sosial yang dijenjang sekolah menengah pertama dikenal dengan IPS ( ilmu pengetahuan sosial ). Di jenjang SMP pelajaran IPS dikenal pelajaran pada kasta sudra atau bahkan paria. Hal ini disebabkan siswa ogah-ogahan dalam mengikuti pelajaran yang membosankan, hafalan, dan gurunya yang terkadang menyebalkan. Mendengar kata IPS beberapa anak sudah alergi dan mual-mual, hanya karena kewajiban saja dan takut nilai merah terpaksa siswa harus mengikuti dengan tingkat keterpaksaan tinggi. Bahkan di tingkat SMA jurusan IPS hanya untuk anak buangan yang tidak diterima dijurusan IPA. Secara ekstrem bahwa penghuni jurusan IPS seperti penghuni kota tua atau kota lain yang jauh dari peradaban, kalau diibaratkan penghuni jurusan ini adalah suku terasing disuatu pulau terpencil. Inilah sedikit gambaran betapa terpuruknya ilmu-ilmu sosial yang sebenarnya sangat kaya dan tidak kalah prestisiusnya dengan jurusan lainnya. Salahnya pengajaran dan pendekatan yang dipraktekkan guru dikelas selama pengajaran menyumbangkan andil terbesar dari keterpurukan ini. Memang tidak bisa dipungkiri keterpurukan terjadi karena sistem pendidikan nasional, penyususnan kurikulum dan politisasi dalam dunia pendidikan.
Ilmu sosial atau humaniora sebenarnya sarat akan nilai-nilai yang menyumbangkan keberhasilan seseorang dalam masyarakat. Coba bayangkan seseorang berhasil dalam bisnis, diplomasi, hubungan regional maupun internasional tidak lepas dari interaksi sosial. Dalam interaksi tersebut seseorang dituntut untuk bisa memahami karakter, etika pergaulan dan spiritual sehingga seseorang berhasil menyelami sikap, kemauan dan membangun kesepakatan dengan orang lain. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan sosial bukan matematis atau hukum alam. Untuk itu betapa pentingnya pendekatan sosial dalam kehidupan ini dan itu semua ada dalam konstruksi ilmu-ilmu sosial. Agar pembelajaran IPS di sekolah tidak membosankan dan mendapat tempat dihati peserta didik maka guru harus menghindari metode hafalan dan pendekatan pokoke atau hukum mutlak. Pembelajaran ilmu sosial harus mengedepankan informasi akurat, up to date, pemahaman dan penghayatan keilmuan, nilai hidup dan moral secara jelas. Untuk mengoperasionalkan tujuan tersebut maka guru sebaiknya memperhatikan hal-hal berikut ( bdk; Sutarjo Adi Susilo : Metode pendidikan nilai dalam ilmu humaniora; makalah yang diseminarkan dalam Seminar Alumni Jurusan Pendidikan Ilmu Sosial, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, 2000 ) :
v Pembelajaran harus bersifat siswa sentris yaitu guru harus memahami keadaan siswa, memperhatikan perkembangannya dan harus ada evaluasi yang maksimal berkaitan dengan gambaran perkembangan siswa.
v Pembelajaran harus bersifat humanistik yaitu peserta didik harus dipahami dan dihargai sebagai manusia yang utuh dengan suasana kekeluargaan dalam kelas. Dengan pendekatan ini sisw akan mudah mengeksplorasi bakat dan minatnya.
v Menggunakan pendekatan belajar multidimensional atau multi kebenaran, multi media dan multi evaluasi. Hal ini mengandung maksud siswa akan lebih enjoy dan tercipta joyfull learning, siswa at home dikelas, dan mudah memahami materi serta kesalahan-keselahan yang dilakukan sehingga mudah untuk dibenahi. Multi media menyebabkan siswa mudah membandingkan dan mengkaji dari berbagai sumber belajar.
v Partisipasi aktif dan kreatif siswa didalam kelas. Guru harus berhasil melibatkan siswa dalam proses belajar sehingga siswa akan mempunyai sense of belonging dalam setiap aktifitasnya.

Proses pembelajaran dibuat semenarik mungkin dengan cara menyampaikan kerangka konseptual secara jelas dan mengangkat nilai-nilai yang terkandung dalam fakta tersebut. Guru harus berani memunculkan nilai yang bisa diangkat dan dihayati untuk menjadi gerakan bersama. Misal dalam pembelajaran ekonomi materi transaksi jual beli seyogyanya mengangkat nilai kejujuran dan kekeluargaan. Dalam pembelajaran sejarah materi nasionalisme mengangkat tentang perjuangan dan daya juang. Geografi mengangkat nilai Tuhan dan manusia. Pkn mengangkat nilai keadilan dan demokratisasi. Nilai-nilai yang sudah ditemukan tersebut diamalkan dan dihayati dalam kesehariannya dan akan lebih baik guru kerjasama dengan orang tua/ wali siswa untuk memantau penerapannya. Mudahnya sebagai berikut : siswa diberi tugas untuk membuat laporan harian nilai-nilai yang sudah diterapkan sehari-hari dirumah, orang tua menandatangani tugas laporan tersebut dan guru mengecek sejauhmana pelaksanaannya melalui buku tersebut. Di dalam kelas guru mengajak peserta didik untuk merefleksikan nilai-nilai tersebut, manfaatnya dan kendala-kendalanya apa yang ditemukan dalam pelaksanaannya.
Adapaun salah satu pendekatan dalam ilmu sosial adalah Value Clarification Technique ( VCT ). Pendekatan ini meliputi antara lain: pertama : Evolution Approach ( pendekatan evokasi ) : Siswa diberi kebebasan mengekspresikan tentang perasaan, peni;aian dan tanggapan terhadap obyek belajar, kebebasan mengangkat nilai-nilai yang terkandung dalam proses pembelajaran. Kedua : pendekatan sugesti terarah yaitu guru harus menciptakan stimulant bagi peserta didik dan secara halus mengarahkan pada suatu kesimpulan terarah. Ketiga : pendekatan kesadaran : dalam pendekatan ini peserta didik diajak untuk mengamati lingkungan sekitar untuk menyadari keberadaan dirinya, sesama dan lingkungan. Keempat : Moral Reasoning ( mencari nilai moral ) yaitu fasilitator membuat dilema untuk dipecahkan secara bersama dan peserta diharapkan menemukan nilai-nilai moral yang terkandung didalamnya. ( bdk., ibidem., hal. 3 ). Siswa juga diajak untuk merefleksikannya sejauhmana nilai-nilai tersebut membangun mentalitasnya. Dalam pendekatan ini bentuk kegiatannya bisa berupa diskusi, studi kasus, nonton film dan sebagainya. Contoh : pada pembelajaran PPKn di SMP Santa Maria Surabaya, guru ( penulis, red., ) memutarkan sebuah film tentang pelanggaran HAM, indikator yang mau dicapai adalah siswa mampu menganalisis kasus pelanggaran HAM yang terjadi di Indonesia, kemudian setelah selesai memutarkan film kelas dibuat dalam beberapa kelompok kerja dan masing-masing menemukan nilai-nilai yang terkandung dalam film tersebut. Kegiatan ditutup dengan merefleksikan ( selama 10 menit ) nilai-nilai tersebut manfaatnya bagi kehidupan keseharian sehingga diharapkan peserta didik mempunyai bekal nilai humanisme dean hal itu akan bermanfaat jika kelak nantinya mereka terjun ke masyarakat.
Untuk dapat melaksanakan pendekatan-pendekatan diatas maka guru harus terampil menguasai kelas. Guru harus bisa membuat pemetaan kelas agar kegiatan dapat berjalan lancar tanpa harus ada “ intimidasi “ di dalam kelas. Selain itu dalam tehnik pembelajarannya guru seyogyanya membuat pertanyaan-pertanyaan yang bervariasi sehingga akan tercipta nuansa kebebasan bagi para siswa untuk menentukan jawaban tanpa harus terkotak oleh jawaban yang sudah dibuat gurunya. Adapun bentuk-bentuk pertanyaannya antara lain ( lihat dan bdk. Ibidem., hal 7 ):
a. Pertanyaan penjajagan yatu untuk mengetahui sejauhmana siswa paham akan materi misalnya : setelah meliht tayangan atau peristiwa tadi adakah diantara kalian yang merasakan kesedihan ? mengapa ! , dan lainnya .
b. Pertanyaan klarifikasi yaitu untuk mengetahui kedalaman pemahaman siswa tentang suatu materi misal : Jelaskan makna atau hakekat dari kasus pelanggaran HAM yang telah kalian kaji !
c. Pertanyaan untuk meminta alasan misalnya; Dalam peristiwa tersebut ada orang yang dikeroyok massa. Baikkah tindakan pengeroyokan tersebut ? mengapa demikian ? jelaskan !
d. Pertanyaan yang bersifat menuntun yaitu untuk membantu siswa dalam menemukan nilai-nilai hidup yang bermanfaat, misal ; Dari sejumlah jawaban teman-temanmu tadi dinyatakan bahwa pelanggaran HAM tidak dapat dibenarkan oleh siapapun dan apapun. Apakah ajaran moral bangsa, agama dan hukum juga beranggapan demikian ? berilah komentar !
e. Pertanyaan yang bersifat personifikasi atau analogi. Pertanyaan ini membantu siswa untuk lebih tajam dalam menganalisa dan menemukan sikap hidup atau nilai hidup yang lebih baik. Hal ini sangat membntu siswa untuk menyadarkan arti sebuah hakekat manusia dan masyarakat. Pertanyaannya misalkan ; Coba tadi Andi menjawab bahwa pemukulan dalam film tersebut sah-sah saja sebagai pelajaran bagi pelaku demonstran. Sekarang coba bayangkan bahwa para demonstran itu adalah kakakmu atau saudaramu? Aapakah kamu akan tetap bertindak demikaian ?


Dengan adanya variasi pertanyaan-pertanyaan tersebut siswa dapat bereksplorasi dan guru dapat menyelesaikan beban kurikulum yang memang menjadi tanggung jawabnya. Siswa kan merasa enjoy dalam mengikuti pelajaran-pelajaran sosial. Ikatan emosional antar sesama dan interaksi akan terjalin dengan baik seiring dengan kegiatan-kegiatan pembelajaran yang menyenangkan dan tidak membosankan. Secara filosofi dapat dirumuskan bahwa dalam belajar siswa senang dan dapat memaknai apa yang dipelajarinya. Adanya penghrgaan terhadap seluruh komunitas kelas, saling menghormati dan menghargai antar komponen kelas, saling membantu akan menjadi bekal dikemudian hari sehingga akan tercipta peradaban bangsa yang baik melalui generasi muda. Hal inilah sebenarnya sebagai suatu jawaban akan kebutuhan pendidikan selama ini terutama bagi mata pelajaran IPS yang dirasakan sangat menyebalkan dan membosankan. Pendidikan Indonesia yang sekarang ini baru berbenah dan sudah jauh dari orientasi pendidikan yang sebenarnya harus benar-benar menciptakan manusia yang manusiawi. Pendidikan sekarang ini mengalami pendangkalan kemanusian, masyarakat mudah dipecah belah, tindakan anarkis dimana-mana, dan tidak saling menghormati seolah menjadi ciri khas bangsa ini. ( lihat ., Majalah Gerrbang; dalam sosok Ahmad Syafii Maarif; Biduk kecil yang diselamatkan Gelombang., Universitas Muhammadiyah Yogyakarta., edisi 4 th V-2005 ). Dengan adanya penanaman nilai-nilai kehidupan yang terintegrasi dalam proses belajar mengajar diharapkan bahwa pendidikan akan menyelamatkan manusia bukan menggerus nilai-nilai kemanusiaan itu sendiri. Pendidikan akan menjadikan besar suatu bangsa yang sarat dengan sikap hidup bermasyarakat yang baik, sopan santun, manusiwai dan ramah tamah akan menciptakan negara kuat dan bermartabat.

1 komentar:

  1. pendidikan sosial sangat membantu dalam proses penanaman nilai di lingkungan sekolah

    BalasHapus